Bolehkah Aku Jatuh Cinta
Oleh: Wisnu Septiawan
Pacaran dapat didefinisikan
sebagai hubungan khusus (eksklusif) antara laki-laki dan perempuan yang tidak
terikat pernikahan baik untuk sekedar bersenang-senang (just having fun) maupun
untuk mencari kecocokan menuju pernikahan.
Dalam pacaran biasanya terdapat
aktivitas-aktivitas sbb: (1) berkomunikasi, baik secara langsung maupun melalui
alat komunikasi (SMS, telepon, dll), misalnya saling perkenalan, curhat,
diskusi, janjian kencan, saling merayu, dsb; (2) aktivitas berdua-duaan, yaitu
interaksi khusus secara menyendiri tanpa kehadiran orang ketiga, baik dalam
kehidupan khusus, misalnya di kamar kos, maupun dalam kehidupan umum, misalnya
di restoran, gedunng bioskop, dsb. Aktivitas ini sering disebut “kencan”
(dating); (3) aktivitas fisik sebagai ungkapan rasa cinta, seperti berpegangan
tangan, berpeluka, berciuman, dsb; (4) hubungan seksual seperti lazimnya yang
dilakukan suami istri yang sah.
Setelah mengkaji manath (fakta
umum) dari definisi pacaran dan aktivitas-aktivitasnya jelas bahwa pacaran itu
haram hukumnya,baik pacaran untuk sekedar untuk bersenang-senang maupun untuk
mencari kecocokan menjelang pernikahan.
Dalil keharaman pacarn antara
lain: pertama, adanya ayat yang mengharamkan zina dan juga segala aktivitas
yang mendekati zina, seperti berpelukan dan berciuman. Firman Allah SWT (yang
artinya),”Dan janganlah kamu mendekati
zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk.” (QS Al Isra’[17]:32). Pada ayat ini Allah SWT telah melarang mendekati
zina dan zinanya itu sendiri. Menurut Imam Ibnu Katsir yang dimaksud mendekati
zina adalah segala aktivitas yang menjadi sebab atau pendorong terjadinya zina.
(asbab wa dawa’i az zina). (Tafsir Ibnu Katsir , Jus III, hlm. 503).
Kedua, adanya hadits yang
mengharamkan segala bentuk percumbuan seperti berciuman walaupun tidak sampai
berzina. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (hadits no 5113), bahwa seorang
laki-laki telah mencium seorang
perempuan tapi tidak sampai berzina, kemudia dia menghadap Nabi SAW. Maka Nabi
SAW pun mengajak laki-laki itu untuk shalat guna menghapus dosanya. Kemudian
turunlah firman QS Hud ayat 114 (yang artinya),”Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk.” (Syeikh Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, Juz XII, hlm 179).
Ketiga, terdapat dalili-dalil
hadits yang mengharamkan khalwat, yakni berdua-duaan antara laki-laki dan
perempuan di tempat sepi. Sabda Nabi SAW,”Janganlah sekali-kali seorang
laki-laki bersepi-sepi dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai
dengan mahramnya.” (HR Bukhari no 4935; no 1341).
Keempat, terdapat dalil-dalil
hadits yang mengharamkan ikhtilath, yaitu campur baur laki-laki dan perempuan
tanpa hajar syar’i, seperti makan berdua di restoran, jalan-jalan berdua di
mall, dsb. Hadits-hadits Nabi SAW menunjukkan bahwa komunitas laki-laki dan
perempuan wajib terpisah (infishal) dan haram hukumnya campur baur (ikhtilath)
antara laki-laki dan perempuan kecuali ada hajat syar’i, seperti saat thawaf di
keliling Ka’bah, atau saat berjual beli, dsb. Dalilnya antara lain bahwa Nabi
SAW yang memerintahkan parab wanita untuk keluar masjid lebih dahulu setelah
selesai shalat di masjid, baru kemudian para laki-laki. (HR Bukhari no 828).
Nabi SAW juga telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika
shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berasa di depan, sedangkan shaf-shaf wanita
berada di belakang shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373). Wallahu a’lam. #MediaUmat